Jumat, 08 Agustus 2014

Saat Meneguk Kopi

Aku suka dengan kopi yang mengendap sedikit pekat sambil ditemani kamu di sebelahku. Dalam berbincangan yang kadangkala di sela oleh puluhan jelaga keringat, kita tak lagi bicara tentang romansa atau kecup liar yang seringkali hinggap. Kita mungkin menjadi sok serius, pemikir dengan rongga otak yang mendadak membesar.


Tahukah kamu, pernah ada masa saat aku sedikit bosan denganmu yang seolah kehilangan canda ketika tengah berhadap-hadapan dengan kopi. Kamu yang tiba-tiba melanglang buana dalam alam imajinasi dewasa dengan kadar berlebihan. Sudah tentu aku akan tetap mematut-matutkan diri agar terlihat masih mampu mendengar suaramu yang menukik tajam menyampaikan aksara. Meski demikian, saat keadaan genting tersebut terjadi, silang percakapan kita selalu berhasil menemukan bentuknya agar sesegera mungkin menampilkan kebebasan. Kebas dari tetek bengek pemikiran klasik yang menjemukan. 

Ada satu hal yang tak bisa kunafikan, Saat pertemuan kita bersama secangkir kopi, ada singgah derai ranting di hutan cemara. Ini bukan tentang secangkir kopi atau kamu, ini tentang bagaimana ruap kopi itu bercampur denganmu. Aku dengan cepat jatuh cinta pada kopi dengan aroma tubuhmu.

Written By Nugraha Sugiarta
Photo By Amelia Devita

Senin, 23 Juni 2014

Lelaki dan Rembulan


Akhir-akhir ini aku gemar menangkap rembulan. Menjeratnya dalam tabir-tabir sunyi yang memupuk kesendirian paling digdaya. Pada saat semacam ini, segala macam pelajaran moral tentang manusia sebagai makhluk sosial yang pernah dikecap semasa bangku Sekolah Dasar musnah tak bersisa. Racun paling memabukkan yang seringkali menghampiri tersebut luluh lantak manakala aku dan rembulan berpapas mesra.



Tahukah kamu? Rembulan dan aku hanya saling bertatap-tatapan melalui celah tirai jendela yang disibak angin malam. Masing-masing dari kami tak merasa perlu untuk membuat percakapan. Rembulan diam, aku memilih bungkam. Sesekali aku mengintip, mencoba menerka apa yang dirasakan rembulan jikalah ia makhluk bernyawa. Mungkin ia tengah merenung dalam kecemburuan pada matahari. Rindu pada terang yang tak pernah ia dapatkan. Atau mungkin, rembulan justru menikmati segala rasa terbuang dalam kegelapan? Atau justru ia tengah menjadi dirinya sendiri, setulus dan sehebat yang ia mampu. Siapa yang pernah tahu?

Belajar dari rembulan, aku tahu bahwa aku perlu untuk merasa sendiri. Kesendirian dan merasa sendiri bukanlah hal buruk. Dengan sendiri aku memapas jarak agar kembali berkenalan dengan diri sendiri. Dengan sendiri aku menjelma menjadi aku yang sesungguh-sungguhnya. Tak ada bising yang memberi penilaian. Tak perlu tegur dan sapa untuk sekadar meyakinkan diri bahwa aku bagian dari rotasi bumi. Aku adalah arah yang menukik tajam pada oase.

Suara Justin Hayward sang vokalis Moody Blues berbisik dari pemutar lagu, lamat, menyingkirkan secangkir kepura-puraan.
Just what I'm going through they can't understand
Some try to tell me thoughts they cannot defend
Nights in white satin never reaching the end…
(Moody Blues – Nights in White Satin)

Written by Nugraha Sugiarta
Drawing by Amelia Devita

Jumat, 20 Desember 2013

Hujan dan Segelas Cokelat Panas

Hujan dan segelas cokelat panas, siapa bisa menolak? Kunikmati ia pada sebuah sofa berwarna hitam dengan alunan musik Laura Fygi yang mendayu merdu. Suara lembut ditimpal rintik hujan, sungguh sebuah kenikmatan meski minus perapian. Perihal cokelat, ini sudah pasti adalah cerita tersendiri. Kubayang-bayangkan, tegukan pertama adalah tentang manis yang bergumul di lidah. Pada tegukan kedua ada hangat yang mengalir lembut laksana aliran sungai yang menyapa sepi dengan gemerincik tanpa jeda.    

Kamu tahu? Hujan dan segelas cokelatku selalu mewakilkan dirinya pada peristiwa-peristiwa sederhana yang mungkin tak dianggap penting bagi banyak orang. Ia adalah perasaan lega saat berada di dalam lift seusai kerja. Well, meski sekarang aku bukanlah pekerja kantoran, setidaknya aku ingat betul beberapa tahun yang lalu betapa peristiwa kecil tersebut selalu berhasil meluapkan kegembiraan tiada tara. Hujan dan segelas cokelat panas adalah pula kebahagiaan saat mengetahui ada yang tersenyum seusai membaca tulisan ini, hujan dan cokelat panas ini lalu menjelma menjadi kerinduan pada beberapa percakapan hangat nan lembut yang pernah ada di masa lalu. 


Hujan dan cokelat panas selalu bisa menjadi apa saja. Sejujurnya, ini bukan tentang sekadar hujan dan cokelat panas. Apa pun yang ada di tanganmu kini, entah kopi atau teh, adalah perantara dari pesan-pesan yang mendaki cepat ke segala simpul ingatan. Mungkin tentang genggaman nyaman dari jari lembut kekasih atau mereguk sore dengan benam kuning matahari bersama pujaan hati. Bahkan ia dengan gemilang mungkin mewartakan pula tentang janji dan pertemuan yang menghilang di balik kabut. Terkadang, seiring dengan makin menggasingnya hidup, kita mungkin memang membutuhkan segala yang telah kuceritakan ini untuk mengingat-ingat. Boleh kutanya kapan kamu terakhir merenung? Aku memulai tegukan ketiga. 

Written by Nugraha Sugiarta
Drawing by Amelia Devita

Minggu, 08 Desember 2013

Belajar Berkenalan

Langit dengan semburat biru yang berhasil memecah gerombolan awan selalu menciptakan terik yang menusuk kulit. Fatamorgana meliuk bebas di seluruh ruang pandangan mata, bergelimang pada tiap aspal jalanan yang dipenuhi keringat. Aku menjadi bagian dari segala kekisruhan. Apa daya, hanya ada dua kemungkinan: terus melaju atau menepi sejenak. Ingin rasanya mampir ke warung kopi. Namun, demi mengingat kegarangan matahari, meneguk kafein adalah absurditas yang tak bisa ditolerir. Pilihan lalu jatuh pada pelataran sebuah masjid yang terlihat begitu sejuk. Riak angin mungkin tak terasa, tapi atapnya yang kokoh perkasa seolah menjelma menjadi sayap malaikat yang mencangkung damai. Punggung yang lelah lalu bersandar di pojok pintu sebelah tempat air minum.

Baru sekitar beberapa menit terduduk, segerombol bocah berebut mengambil air minum. Tak lama, lelaki paruh baya sedikit lusuh mengeluarkan botol mineral kosong dan mengisinya sampai penuh. Lehernya bergerak-gerak lega saat aliran air berjalan lembut di kerongkongan. Aku tak ambil pusing, belum ambil pusing tepatnya. Tangan dengan lincah mengisi waktu dengan berselancar di jejaring sosial. Seorang kawan membuat postingan cukup menarik. Foto band paling keren, tulisnya. Tentu semua yang disampaikan serba berkebalikan. Foto para muda-mudi yang jauh dari nilai estetis terpampang. Pada salah satu foto, terpampang alamat blog dari salah satu band yang tengah tereksploitasi tersebut. Dalam senyum, iseng kubuka tautan tersebut. Entah bagaimana bisa, tahu-tahu rasa penasaran membuatku bertindak lebih jauh. Kudengarkan lagu mereka, tak terlalu buruk meski banyak kurang di sana-sini. Laman Facebook para personel dengan super iseng tak luput dari pencarian. Sebagian berkuliah dan menetap di Surabaya. Foto-foto gembira, keceriaan di tempat antah-berantah.

“ Ini untuk air yang dingin mana, ya?” Seorang kakek tiba-tiba bertanya, “ ini, ya?” Ia jawab sendiri pertanyaan itu sambil menunjuk tombol berwarna biru.


Sedikit terkaget aku mengangguk. Ia tersenyum. Air berpindah ke botol kusam di tangannya. Wajahnya lelah namun sumringah. Siapa dia? Aku tak tahu. Mungkin kuli pengangkut sampah atau tukang parkir ilegal. Kuikuti langkah kakinya sampai ia menghilang di balik pagar. Sungguh mati tiba-tiba aku penasaran seperti halnya dengan band dengan foto nan seadanya tadi. Kuamati sekitar, ada yang tengah bercengkrama, ada yang asyik membaca, ada bapak dan anak yang menunggu sore. Lalu aku ingat pada gerombolan bocah, pada lelaki lusuh dengan leher yang bergerak-gerak. Siapa mereka? Wajah berseri pada foto di jejaring sosial menampar. Betapa kita gemar mengamati siapa pun dan seringkali latah menjadikannya objek yang kadung telah diberi stempel buruk dengan tinta pekat. Bocah-bocah nakal, kuli sampah, tukang parkir menyebalkan, pemusik gagal, dan sederet stigma yang dilahirkan prematur. Sontak aku tersadar, tiap pertemuan adalah pula sebuah perkenalan. Bukankah seharusnya berbagi pandang atau percakapan adalah tentang menebak-nebak bagaimana hidup berlangsung dan belajar mengagumi sisi menakjubkan dari manusia-manusia di sekitar kita? Bukankah manusia tak hanya mengakrabi buruk? Bukankah buruk selalu berdiri sejajar dengan baik? Cangkung sayap malaikat makin mesra memberi teduh. Aku belajar memilih sisi. 

Written by Nugraha Sugiarta
Drawing by Amelia Devita

Sabtu, 01 Juni 2013

Mengapa Aku Suka Menulis

“ Mengapa kamu suka menulis?” Tanya seorang kawan iseng ketika hujan memerangkap seluruh aktivitas.

Aku memerlukan sedikit waktu untuk menjawab pertanyaan yang tiba-tiba meluncur itu. Mengapa aku suka menulis? Segala daya ingatan dikerahkan. Berlari pada beberapa bacaan yang pernah kubaca. Aku suka nyaris seluruh karya-karya Seno Gumira Ajidarma. Begitu sentimental dan cenderung romantis. Ia memiliki imajinasi hebat untuk menyampaikan pesan-pesan. Selain itu, jika berbicara tentang bacaan, sulit bagiku untuk menepikan dua buku karya Misbach Yusa Biran: Oh Film dan Keajaiban di Pasar Senen. Sekumpulan kisah tentang “seniman gadungan” di era tahun 50-an. Tokoh film senior yang telah almarhum ini dengan ciamik memotret keseharian kaum muda kreatif di masa itu dengan bumbu humor yang sangat kental. Lalu, ada pula Pramoedya Ananta Toer. Seorang novelis legendaris yang pernah dimiliki Indonesia. Karya-karyanya semisal Tetralogi Pulau Buru, Arus Balik, Arok Dedek, atau Gadis Pantai merupakan beberapa karya masterpiece Pram yang memiliki latar belakang kesejarahan yang sangat kuat. Dalam bungkus fiksi, ia wartakan tentang kebenaran yang selama ini telah kita lupakan. 

Ah, tulisan ini akan terlalu panjang rasanya jika harus kusampaikan buku-buku yang kusukai. Cukup tiga penulis itu saja. Dari ketiganya kupahami imajinasi dalam fiksi dan tentang fakta yang disampaikannya. Karya fiksi, apa pun itu bentuknya, memang harus diakui merupakan refleksi dari realitas. Bagiku, menulis itu seperti menerbangkan ingatan-ingatan tentang peristiwa dan membumbuinya dengan imajinasi agar jalinan huruf-huruf yang tersaji tidak terasa gersang.


Hujan telah reda. Sang kawan pun sepertinya telah lupa dengan pertanyaan yang diajukan. Namun, aku tahu, aku harus menjawab.

“ Hujannya sudah berhenti,” matanya yang tengah menjadi pengintai langit menengadah.
“ Kamu tahu mengapa aku suka menulis?” Ia menoleh. Aku melanjutkan kata-kata. “ Karena aku ingin merayakan imajinasi dan mewartakan kebenaran.”

Benar perkataannya tentang hujan yang sudah berhenti. Langit perlahan-lahan mulai cerah, tanpa malu-malu segala cerah itu telah pula singgah di hatiku. 

Minggu, 28 April 2013

Potongan Kisah dari Satu Masa di Cielo

(Taken from "Cokelat di Matahari Barat"
Setiap pukul enam sore, ketika matahari sudah mulai meneduh dan jalanan kian dipenuhi angin semilir yang sedikit bercampur dengan debu, perempuan itu seperti memiliki ritual wajib. Mengambil kursi di pojokan untuk kemudian termangu-mangu dalam diam paling sunyi, nyaris tanpa menyentuh segelas cokelat panas yang dipesannya. Geletar cuaca tak pernah mengubah ritual tersebut. Dalam cerah atau ketika titik air yang dicurahkan oleh awan memburu bumi, ia tetap melakukan apa yang selalu ia lakukan: duduk, termangu, dan segelas cokelat panas.  

Mungkin saja, maksudku sangat mungkin, tak ada yang memperhatikan dengan seksama atau minimal sedikit penasaran dengan apa yang tengah ia lakukan. Tentu pula, tak pantas rasanya jika aku tiba-tiba bertanya penuh selidik mengenai ritual itu, meski terkadang imajinasi liarku seolah ingin terbang dan hinggap di hadapannya untuk sekadar melontarkan pertanyaan paling sederhana, “apa, sih, yang sebenarnya kamu lakukan?” 



Ingin tahu lanjutannya? Yuk, langsung pesan saja buku kumpulan cerpen Satu Masa di Cielo :)
Untuk pemesanan, hubungi 0896 1373 9862 (sms/whatsapp)